Seorang Pejuang Telah Pergi

Sepertinya isi blog saya di 2018 ini didominasi oleh rasa kehilangan.

Lagi, saya melalui kesedihan ditinggal seseorang yang memiliki arti besar. Pukul 03.30 19 September, Allah memanggil pulang teman baik saya, Fine, yang sudah tiga tahun belakangan berjuang melawan kanker. Kami terakhir bertukar kabar via WhatsApp 10 hari sebelumnya. Saya secara berkala mengecek kondisinya karena tahu tubuhnya mulai kepayahan setelah menjalani perawatan menggunakan obat baru. Seperti biasa, Fine menjawab kabarnya baik-baik saja. Ia tidak pernah mengatakan dirinya tidak baik. Bahkan, di saat nyeri teramat sangat datang ia bercerita tanpa ada kesan mengeluh. Ya hanya sekadar berbagi cerita saja gitu.

Ada yang janggal dari balasannya malam itu. Tidak seperti dirinya yang biasa. Balasannya datar. Tapi saya tidak mau berpikir buruk. Hingga Rabu siang seorang teman mengirimkan gambar dari akun Facebook yang memberitakan kepergian Fine. Saya, meski sudah menduga namun tak mau mendahului-Nya, kaget bukan kepalang. Rupanya kanker sudah menyebar ke otak dan mata. Cerita dari ibu Fine, Fine memang sudah lelah dengan kondisinya. Saya tidak menyalahkan dirinya. Tiga tahun melawan kanker dengan penuh semangat bukanlah waktu singkat. Apalagi di awal perjuangan ia mendapat kabar gembira yang sudah dinanti selama 9 tahun, yaitu kehamilan.

Kehamilan Fine membuat kondisi semakin tricky. Ia dan suami memilih untuk mempertahankan kehamilan dengan bantuan tim dokter kandungan yang solid. Alhamdulillah ia dapat melihat dan mendekap Satriyo setelah hamil 36 minggu. Ia pun semangat memberikan ASI yang disuplai dari satu payudara yang sehat. Betapa hebatnya kamu, Fin. Setelah beberapa waktu, Fine harus menjalani mastektomi serta rangkaian kemoterapi sebagai ikhtiar menuju kesembuhan. Tak terhitung lagi momen kami tertawa terbahak-bahak membaca ceritanya di WA grup kala rambutnya rontok termasuk alis sampai habis. “Gue beli cap alis, nih. Nanti kalau sudah coba, gue foto biar kalian lihat,” ujarnya suatu sore. Lalu dia kirim fotonya … ah, bagus, kok, Fin 🙂 Sering juga Fine berbagi pengalaman berobat dengan menggunakan BPJS, ia hapal sekali alur dan selahnya.

Fine Resyalia. Sosok yang selalu diselimuti aura positif. Ia penyemangat di saat dirinyalah yang membutuhkan semangat juang. Terima kasih, teman, atas semua pelajaran hidup yang kamu berikan kepada saya.

Fine yang memakai kerudung kuning 🙂 

Ketika Harus Menjadi Kenangan

Satu hal yang tidak saya sukai dari bertambahnya usia adalah bagaimana peluang saya kehilangan orang terkasih juga bertambah. Ya, saya tahu, kematian sifatnya pasti dan bisa datang kapan saja. Tapi paham, kan, maksudnya? Semakin kita menua, semakin menua pula orangtua kita … atau semakin besar peluang kita tutup usia. Belum lega rasanya hati ini dengan kepergian Nenek September lalu, sesak kembali menyusup karena kami harus menutup bab dengan Papa (nya saya) dan adik (nya Febri).  Continue reading

Mama Anita Saya

Disalin dari post akun sosial media saya pada 5 September 2017. 

Salah satu hal yang saya syukuri dari hidup saya adalah berkah mendapat dua pasang orangtua. Pertama tentu orangtua kandung dan kedua, kakek-nenek dari Mama yang membesarkan saya. Saya tidak pernah dekat apalagi romantis dengan Papa dan Mama (lupakan soal “permata hati Ayah”, mana ada lah dalam kamus kami), tapi jangan tanya dengan Ayah (kakek) dan Nenek. Tak pernah sekali pun, semasa mereka hidup, secara fisik maupun hati saya jauh dari mereka.

Sepuluh tahun lalu, ketika saya dan Febri sedang merencanakan pernikahan kondisi Ayah turun. Pesan terakhirnya pada saya adalah supaya kami mendampingi Nenek hingga akhir hayatnya. And we did.

Continue reading