Galau, Harfiah

Semalam kami terlibat percakapan cukup “dalam” seputar keluarga. Saya sangat beruntung punya suami dengan latar belakang drama keluarga yang mirip jadi ketika kami membahas poin-poin turunan dari drama itu bisa langsung klik. Semalam saya bilang ke suami kalau jangan sampai kami jadi orangtua yang memposisikan anak dalam situasi di mana sang anak akan mengalami pergulatan hati. Ih, ribet banget bahasanya.

Seperti yang pernah saya singgung di blogpost lalu-lalu, saya dan suami sama-sama punya “tantangan” soal keluarga terutama ayah. Kami berdua selama bertahun-tahun merasa kecewa terhadap beliau-beliau itu. Dan bertahun-tahun pula kami berusaha mencari jawaban atas kegalauan hati tersebut. Bukan jawaban, sih, tapi cara supaya kami ikhlas menjalani apa yang harus dijalani. Kami tahu soal kewajiban anak terhadap orangtua, tahu banget … takut bener durhaka tapi kami pun tahu rasa kecewa, kesal, dan yang paling sakit … rasa dicampakkan oleh orang yang harusnya menyayangi dan mengayomi kami. 

Lagi-lagi, saya merasa sangat beruntung bertemu jodoh dengan pengalaman mirip … suami tidak pernah memaksa saya untuk move on, untuk mengikhlaskan masa lalu. Dia pernah bilang kalau seiring waktu berjalan, biarlah kami saling dukung mengurai perasaan kesal itu agar lebih mudah dijalani. Bahwa masa lalu adalah masa lalu dan sekarang yang punya kontrol adalah kami. Yes, we still have some daddy issues tapi sekarang kami lebih bisa menetralisir emosi, saling mengingatkan.

Orangtua kadang tidak sadar, walaupun mereka “mengaku” salah atas yang terjadi tapi tindakan dan ucapan seringkali membuat hati anak bertanya-tanya, “Kenapa A kalau jelas-jelas yang harus dilakukan adalah B?” Dan inilah yang saya maksud dengan pergulatan hati di atas. Rasanya nggak enak banget. Mudah-mudahan kami sebagai orangtua bisa bijak bertindak dan berbicara pada anak. Amin.

Leave a comment